Senin, 31 Maret 2008

Dari Andrea Hirata Sampai James Redfield

Kamis 21 Februari ini matahari terlihat di langit yang cerah, tak seperti hari sebelumnya yang diguyur hujan hari ini panas matahari sangat terasa. Rasanya malas untuk berangkat dari kostan menuju kampus, mungkin karena panasnya matahari itu masih harus ditambah dengan jarak dari kostan yang terbilang lumayan jauh dari kampus. Ya itulah konsekuensinya: jarak semakin jauh harga semakin murah. Sebuah perhitungan ekonomi yang berbeda saat kita naik angkot: jarak dekat 2000, jarak jauh 3000.

Yang membuatku ingin ke kampus hari ini adalah kehadiran Andrea Hirata. Mungkin aku sudah terkena demam novelnya yang Best Seller itu, Laskar Pelangi. Betapa tidak, baru setelah aku melihat si penulis di acara Kick Andy, aku semakin tertantang untuk membaca novel karyanya. Padahal sebelumnya, saat ada Indonesian Book Fair di Senayan, aku tidak berminat sama sekali membeli novelnya. Dan aku lebih memilih novel “perempuan bersayap surga”. Ya, novel yang kubelikan untuk nenekku, karena sampai usianya yang semakin tua ia masih gemar membaca novel, selain Al-Qur’an tentunya, atau hanya melihat-lihat kembali foto-foto dahulu saat kami masih tinggal di Jakarta, ketika sudah tidak ada novel yang bisa dibaca.

Di jalan menuju ke kampus, tepatnya di dekat stasiun aku sempatkan dulu beli novel Laskar Pelangi yang legendaris itu. “Andrea Hirata, Laskar Pelangi: Indonesia’s Most Powerful Book”, begitu tulisan yang ada di covernya. “Sungguh dahsyat sekali!”, kataku dalam hati. Lalu aku membelinya dengan harga Rp. 30.000 rupiah saja. Buku yang masih diplastik itu aku tenteng-tenteng sampai kampus.

Sambil senyum-seyum sendiri, buku aku tenteng dan berjalan menuju kampus. Sambil berjalan itu aku membayangkan: kenalan dengan Andrea Hirata, bersalaman dengannya, minta tanda tangan, salaman lagi, dan foto bareng. Rencananya foto itu akan aku cetak nanti, dan dijadikan pembatas bukunya. Ya, sempurna sekali.

Sesampai di kampus aku melihat ruang aula tempat Andrea bicara itu sudah penuh sesak. Betapa tidak, satu hari sebelumnya saat aku menanyakan kesiapan panitia penyelenggara si Input itu (salah satu panitianya yang cukup tersohor) ia berkata, “iy nih dim, udah penuh, dari fakultas lain udah daftar, anak-anak SMA juga, dan malah ada ibu-ibu dari Tanggerang yang udah telepon buat pastiin acaranya jadi atau gak karena dia mau datang sama anaknya”.

Sungguh luar biasa sekali panitia Limas itu, bekerja siang malam, tak kenal henti. Mereka berusaha sekali untuk mengundang Andrea Hirata, bahkan kemungkinan selanjutnya Yusuf Kalla juga diundang untuk datang ke acaranya. Anak-anak yang luar biasa!

Di dalam aula yang penuh sesak itu aku titipkan buku yang kubeli itu ke salah satu panitia, Arum namanya. Perempuan baik hati yang suka terseyum sipu sendiri. Berharap, karena dia LOnya Andrea maka dia bisa menjamin rencanaku tadi dengan Andrea. Hehe…

Di ruang yang penuh sesak aku berpikir banyak sekali orang yang gemar membaca novel (laskar pelangi). Ya, novel kadang memberikan kepada kita cerita yang berbeda tentang dunia. Salah satu novel yang kutau dan menurutku menarik adalah “The Celestine Prophecy” yang ditulis oleh James Redfield. Cerita yang kutau dimulai dari kondisi sosial orang Amerika.

Orang Amerika itu sangat religius, tapi jemu pada spiritualitas yang diedarkan pada spritualitas yang diedarkan oleh agama. Itu sebabnya buku-buku yang mengandung unsur spiritualitas non-agama laku keras. Nah, dalam bukunya yang berjudul “The Celestine Prophecy” yang ditulis oleh Redfield itu ia melihat tiada pertemuan yang terjadi secara kebetulan. Setiap pertemuan membawa “pesan” tertentu. Menurutnya, mereka yang bertemulah yang wajib mencari makna pesan tersebut.

Berhenti bercerita tentang Redfield, acara talk show sudah selesai dan kini giliran sesi penandatanganan novel. Tapi sesuatu tiba-tiba terjadi. Si manajer Andrea tiba-tiba memegang novelku dan meraba covernya. Lalu seketika perempuan yang kaosnya bertuliskan “Edensor” itu berkata, “ko, belinya yang bajakan sih!? Gak menghargai si penulisnya dong”.

Sontak aku langsung salah tingkah, bingung harus berkata apa. Perempuan itu bicara seperti hakim yang sudah memvonis bersalah seorang terdakwa atas kasus pembelian barang bajakan. Sungguh sebuah kalimat yang sarat akan keadilan yang harus ditegakkan. Sedikit berpikir, sambil melihat isi dompet aku langsung lari dan membeli novel baru seharga Rp.60.000. Hari ini aku membeli novel seharga Rp. 90.000!!!

Selanjutnya aku mengantri untuk mendapatkan tanda tangan, aku diantrian paling terakhir, dan Andrea sudah terlihat lelah menandatangani sekitar 100 orang yang mengantri. Dahsyat sekali! Sampai akhirnya ia berdiri dan pergi. Sementara itu aku protes dalam hati, “hey! Ini novel yang baru kubeli lagi belum ditandatangani!!!”

Andrea pergi tak mempedulikanku. Dari wajahnya itu ia terlihat sangat capek. Kasihan sekali dia, tapi dia masih berusaha untuk tersenyum. Akhirnya aku baru sadar rencanaku saat berangkat ke kampus tadi berantakan! “Tidak! Ini rencana yang sudah kusiapkan satu hari sebelumnya dan sudah kuprediksi tidak akan meleset secuil pun”, kataku dalam hati. Rencana yang tidak akan meleset itu dengan sombong aku buat dengan pertimbangan bahwa aku BPH Inti BEM FISIP. Ya, BEM FISIP itu penyelenggara acaranya. Pasti aku punya privilege buat bertemu Andrea Hirata. Tapi kini berbeda 180 derajat.

Baru aku sadar kembali, aku ini BPH Inti. Hehe… lantas saja aku cari LO dari Andrea itu, gadis manis yang selalu tersenyum tersipu: Arum. Kemudian aku minta dia memperkenalkan aku sebagai BPH BEM FISIP yang hendak mengucapkan terima kasih. Lantas Andrea, yang entah tau atau tidak apa itu BPH BEM FISIP, bersedia menjabat tanganku dan menerima ucapan terima kasihku. Selanjutnya aku dan dia menuju ruang Pejabat Dekan di Gedung A. Karena rencana setelah bertempur di aula itu Andrea akan istirahat sejenak sambil ngobrol dengan Pak Dekan.

“Perfect!”, kataku. Di gedung A itulah aku akan menjalankan rencanaku. Langsung saja aku menyodorkan novel asli yang baru kubeli.

“Bang, boleh minta tanda tangan buat novel saya?”, aku memohon padanya.

“wah, iya boleh. Apa tulisannya?”, Andrea merespon dengan sopan.

Andrea memang orang baik, dia sederhana, bertutur kata sopan dengan gaya khas Melayu. Gaya yang baru aku temui ketika aku tinggal di asrama dulu pada tahun kedua kuliah. Saat itu aku banyak bertemu teman-teman dari seluruh nusantara, salah satunya adalah yang berdialek Melayu. Semoga Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk orang seperti Andrea. Dan semoga ia tidak menjadi politisi.

Menjawab pertanyaan Andrea aku bilang padanya, “buat Dimas bang, tulisannya semoga cepat lulus”

Seketika Andrea langsung melihat wajahku, “Dimas itu kamu!?”

“ya”, kataku.

“hahaha!!! Terulang lagi yang di Unpad. Memintaku menulis untuk dirinya sendiri…haha!!!”, ia tertawa lepas.

“baiklah”, kata Andrea.

Lalu ia menulis:

“Dear Dimas, semoga cepat selesai kuliahnya, jangan malas-malasan. Salam, Andrea Hirata”

Senang sekali aku saat itu. Sambil mencari-cari orang yang hendak memfoto kami berdua, aku sangat berterima kasih padanya. Tapi Ketua BEM sama Pak Dekan sudah menunggu di ruangan, dan aku jadi membuat mereka menunggu lebih lama. Tiba-tiba, temanku Yustian meneleponku. Dengan nada yang sedikit memaksa ia bilang, “Dim, dimana lo!? Jadi gak ke Bulungan? Cepetan ke bawah AJB sini!”

Sial! Di tengah-tengah kesenangan dan usaha untuk foto bareng ini aku lupa bahwa aku harus ke Bulungan sore itu. Sementara itu aku gagal untuk foto bareng dengan Andrea Hirata. Tapi aku sudah cukup senang mendapatkan tanda tangannya. Haha…puas…

Lalu aku jadi teringat kembali dengan James Redfiled itu, sepertinya aku harus mencari makna dari pertemuan dengan Andrea Hirata itu (meskipun tidak kebetulan karena sudah kurencanakan). Dan ada satu yang dapat kupelajari dari hari Kamis 21 Februari itu,

“JANGAN BELI BUKU BAJAKAN, APALAGI KALO MAU MINTA TANDA TANGAN PENULISNYA”

my first blog

setelah berjam-jam bersama sorang kawan,
akhirnya kuputuskan membuat blog.

o iya, kawan itu namanya Yaya, dia minta disebutin namanya.

mmm...mudah-mudahan blognya bisa keisi terus.